Minggu, 30 November 2014

Aku Penyandang AIDS

 Ketika itu aku berusia 18 tahun. Aku baru lulus ujian masuk STT Jakarta dengan peringkat nomor 2. Bukan sombong, aku memang murid SMU peringkat pertama di tingkat provinsi. Baru saja aku bersorak gembira, tiba-tiba ada kabar yang membuatku lemas. Ada susulan hasil pemeriksaan kesehatanku. Ternyata aku mengidap HIV/AIDS. Gereja pun langsung membatalkan pengutusanku ke STT.
Ibuku panik. Kami sekeluarga langsung minta diperiksa. Hasilnya lebih mengejutkan lagi. Ternyata bukan hanya aku, melainkan adik bungsu yang berusia 9 tahun juga mengidap AIDS. Yang luput hanya ibuku dan adikku yang berusia 11 tahun. Kami betul-betul dirundung malang.
Padahal dua bulan sebelumnya kami terkena musibah. Ayah dengan dua orang temannya ditembak. Jenazah mereka ditemukan di dekat jembatan. Ayah menggenggam buku bertuliskan namanya, yaitu Silas. Malam itu mereka pulang rapat menentang pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh sebuah pabrik besar. Ayah guru kimia dan aktivis lingkungan hidup. Kepala polisi yang adalah sahabat kami berbisik, “Pengusutannya sulit, sebab pabrik ini milik kerabat istana.”
Nah, itu terjadi dua belas tahun lampau. Sejak itu hidup kami jadi derita dan penuh nestapa. Penyakitku makin mengganggu. Tetapi selain derita fisik, kami terpukul lebih berat dengan derita batin. Rasanya dunia seperti kiamat, sebab hampir tiap orang membuang muka. Tidak ada yang mau mendekat pada kami. Kami dianggap najis.
Untunglah ibuku masih tetap boleh bekerja. Ia guru SD. Tetapi sungguh menyakitkan sikap gereja terhadap kami. Ibuku adalah seorang penatua, lalu tiba-tiba ia menerima sehelai surat dari pendeta. Bunyinya, “Ibu Silas yang terkasih dalam Tuhan. Kami sangat mensyukuri pelayanan Ibu untuk gereja Tuhan. Namun, Tuhan ingin memakai anak-anak-Nya yang lain untuk melayani. Oleh sebab itu, masa jabatan Ibu sebagai penatua tidak diperpanjang. Kami berdoa kiranya pada masa depan Tuhan akan memakai Ibu lagi untuk melayani ladang Tuhan. Tuhan memberkati.” Wah, surat manis, yang penuh dihiasi nama Tuhan.
Akan tetapi, yang lebih menyakitkan hati adalah bahwa dalam khotbahnya pendeta berkata, “Semua penyakit adalah akibat dosa. Dan upah dosa adalah maut. Penyakit adalah kutukan. Sia-sia berobat ke dokter mana pun. Yang perlu adalah pelepasan dari kutuk.” Aku bingung, apakah pendetaku bisa berpikir atau tidak?
Yang juga mengecewakan adalah bahwa gereja penuh dengan slogan muluk. Berkali-kali ada seruan dari pucuk pimpinan gereja agar solider dan membela penderita HIV/AIDS. Solider apa? Membela apa? Mana wujudnya? Cuma pernyataan kosong. Jangankan solider, mengerti duduk perkaranya pun tidak. Pendetaku tidak tahu bahwa bayi tiga bulan pun bisa terjangkit AIDS. Jangankan membela, berjabatan tangan dengan aku pun pendeta itu tidak mau. Begitulah pendeta. Begitulah gereja. Cuma pandai berpura-pura. Senyum sini senyum sana, tetapi cuma topeng belaka. Sebut-sebut nama Tuhan, tetapi cuma perhiasan.
Sudah 12 tahun aku menderita lahir dan batin. Lalu pada suatu hari ketika berjalan di Blok M Kebayoran Baru, aku melihat kerumunan orang. Ada apa? Petugas parkir berkata, “Ada Nabi Isa.” Langsung aku mendekat dan ikut berdesak-desak. Benar, itu Yesus! Orang-Nya tinggi. Wajah-Nya serius. Suara-Nya berwibawa dan agak ketus. Rombongan-Nya bergerak maju. Aku berdesakan untuk mengejar. Aku sentuh jubah-Nya dari belakang.
Tiba-tiba Yesus menoleh dan memandangi orang-orang di sekitar-Nya. Lalu bagaikan seorang guru yang galak Ia bertanya, “Siapa yang menjamah jubah-Ku?”
Aku langsung gemetar karena takut. Lalu aku berlirih, “Aku, Tuhan, maafkan aku.”
Kemudian Yesus menatap wajahku dengan tajam. Sambil setengah menunduk aku berkata, “Namaku Anna. Aku sakit AIDS. Sudah 12 tahun. Aku dianggap najis oleh masyarakat.”
Yesus terus menatap wajahku sambil terdiam. Lalu Ia berkata, “Aku tahu.”
Setelah itu aku lebih terkejut lagi. Yesus memeluk aku! Ia mencium kedua pipiku!
Kemudian sambil memegang lenganku, Yesus berkata, “Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau. Pergilah dengan selamat dan sembuhlah dari penyakitmu!”
Aku bagaikan meledak kegirangan. Aku gugup lalu berlari meninggalkan kerumunan itu. Aku melayang kegirangan.
Terengah-engah aku tiba di rumah. Bukan main! Aku bertemu Yesus! Semua orang menganggap aku najis, tetapi Yesus tidak beranggapan begitu! Ia memeluk aku! Ia mencium aku! Ini mirip cerita di Alkitab. Lalu cepat-cepat aku cari cerita itu. Benar, ada di Injil Markus 5:25-34.
Sejak hari itu, tiap pagi sebelum berangkat kerja, aku berdiri di depan cermin dan mengulangi kata-kata Yesus itu. Sambil meniru-nirukan intonasi dan artikulasi suara Yesus, aku berkata dengan suara nyaring, “Anna-Ku! Anna-Ku! Hai, Anna-Ku! Imanmu telah menyelamatkan engkau! Pergilah dengan selamat! Sembuhlah dari penyakitmu!”
Wah, aku jadi emosional menceritakan hal ini. Sampai-sampai aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Anna Irene Damaris Silas, disingkat AIDS.