Ketika
itu aku berusia 18 tahun. Aku baru lulus ujian masuk STT Jakarta dengan
peringkat nomor 2. Bukan sombong, aku memang murid SMU peringkat
pertama di tingkat provinsi. Baru saja aku bersorak gembira, tiba-tiba
ada kabar yang membuatku lemas. Ada susulan hasil pemeriksaan
kesehatanku. Ternyata aku mengidap HIV/AIDS. Gereja pun langsung
membatalkan pengutusanku ke STT.
Ibuku
panik. Kami sekeluarga langsung minta diperiksa. Hasilnya lebih
mengejutkan lagi. Ternyata bukan hanya aku, melainkan adik bungsu yang
berusia 9 tahun juga mengidap AIDS. Yang luput hanya ibuku dan adikku
yang berusia 11 tahun. Kami betul-betul dirundung malang.
Padahal
dua bulan sebelumnya kami terkena musibah. Ayah dengan dua orang
temannya ditembak. Jenazah mereka ditemukan di dekat jembatan. Ayah
menggenggam buku bertuliskan namanya, yaitu Silas. Malam itu mereka
pulang rapat menentang pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh
sebuah pabrik besar. Ayah guru kimia dan aktivis lingkungan hidup.
Kepala polisi yang adalah sahabat kami berbisik, “Pengusutannya sulit,
sebab pabrik ini milik kerabat istana.”
Nah,
itu terjadi dua belas tahun lampau. Sejak itu hidup kami jadi derita
dan penuh nestapa. Penyakitku makin mengganggu. Tetapi selain derita
fisik, kami terpukul lebih berat dengan derita batin. Rasanya dunia
seperti kiamat, sebab hampir tiap orang membuang muka. Tidak ada yang
mau mendekat pada kami. Kami dianggap najis.
Untunglah
ibuku masih tetap boleh bekerja. Ia guru SD. Tetapi sungguh menyakitkan
sikap gereja terhadap kami. Ibuku adalah seorang penatua, lalu
tiba-tiba ia menerima sehelai surat dari pendeta. Bunyinya, “Ibu Silas
yang terkasih dalam Tuhan. Kami sangat mensyukuri pelayanan Ibu untuk
gereja Tuhan. Namun, Tuhan ingin memakai anak-anak-Nya yang lain untuk
melayani. Oleh sebab itu, masa jabatan Ibu sebagai penatua tidak
diperpanjang. Kami berdoa kiranya pada masa depan Tuhan akan memakai Ibu
lagi untuk melayani ladang Tuhan. Tuhan memberkati.” Wah, surat manis,
yang penuh dihiasi nama Tuhan.
Akan
tetapi, yang lebih menyakitkan hati adalah bahwa dalam khotbahnya
pendeta berkata, “Semua penyakit adalah akibat dosa. Dan upah dosa
adalah maut. Penyakit adalah kutukan. Sia-sia berobat ke dokter mana
pun. Yang perlu adalah pelepasan dari kutuk.” Aku bingung, apakah
pendetaku bisa berpikir atau tidak?
Yang
juga mengecewakan adalah bahwa gereja penuh dengan slogan muluk.
Berkali-kali ada seruan dari pucuk pimpinan gereja agar solider dan
membela penderita HIV/AIDS. Solider apa? Membela apa? Mana wujudnya?
Cuma pernyataan kosong. Jangankan solider, mengerti duduk perkaranya pun
tidak. Pendetaku tidak tahu bahwa bayi tiga bulan pun bisa terjangkit
AIDS. Jangankan membela, berjabatan tangan dengan aku pun pendeta itu
tidak mau. Begitulah pendeta. Begitulah gereja. Cuma pandai
berpura-pura. Senyum sini senyum sana, tetapi cuma topeng belaka.
Sebut-sebut nama Tuhan, tetapi cuma perhiasan.
Sudah
12 tahun aku menderita lahir dan batin. Lalu pada suatu hari ketika
berjalan di Blok M Kebayoran Baru, aku melihat kerumunan orang. Ada apa?
Petugas parkir berkata, “Ada Nabi Isa.” Langsung aku mendekat dan ikut
berdesak-desak. Benar, itu Yesus! Orang-Nya tinggi. Wajah-Nya serius.
Suara-Nya berwibawa dan agak ketus. Rombongan-Nya bergerak maju. Aku
berdesakan untuk mengejar. Aku sentuh jubah-Nya dari belakang.
Tiba-tiba
Yesus menoleh dan memandangi orang-orang di sekitar-Nya. Lalu bagaikan
seorang guru yang galak Ia bertanya, “Siapa yang menjamah jubah-Ku?”
Aku langsung gemetar karena takut. Lalu aku berlirih, “Aku, Tuhan, maafkan aku.”
Kemudian
Yesus menatap wajahku dengan tajam. Sambil setengah menunduk aku
berkata, “Namaku Anna. Aku sakit AIDS. Sudah 12 tahun. Aku dianggap
najis oleh masyarakat.”
Yesus terus menatap wajahku sambil terdiam. Lalu Ia berkata, “Aku tahu.”
Setelah itu aku lebih terkejut lagi. Yesus memeluk aku! Ia mencium kedua pipiku!
Kemudian
sambil memegang lenganku, Yesus berkata, “Hai anak-Ku, imanmu telah
menyelamatkan engkau. Pergilah dengan selamat dan sembuhlah dari
penyakitmu!”
Aku bagaikan meledak kegirangan. Aku gugup lalu berlari meninggalkan kerumunan itu. Aku melayang kegirangan.
Terengah-engah
aku tiba di rumah. Bukan main! Aku bertemu Yesus! Semua orang
menganggap aku najis, tetapi Yesus tidak beranggapan begitu! Ia memeluk
aku! Ia mencium aku! Ini mirip cerita di Alkitab. Lalu cepat-cepat aku
cari cerita itu. Benar, ada di Injil Markus 5:25-34.
Sejak
hari itu, tiap pagi sebelum berangkat kerja, aku berdiri di depan
cermin dan mengulangi kata-kata Yesus itu. Sambil meniru-nirukan
intonasi dan artikulasi suara Yesus, aku berkata dengan suara nyaring,
“Anna-Ku! Anna-Ku! Hai, Anna-Ku! Imanmu telah menyelamatkan engkau!
Pergilah dengan selamat! Sembuhlah dari penyakitmu!”
Wah,
aku jadi emosional menceritakan hal ini. Sampai-sampai aku lupa
memperkenalkan diri. Namaku Anna Irene Damaris Silas, disingkat AIDS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar